Selasa, 31 Agustus 2010

ummu wa rabbah al bayt

Banyak peristiwa yang menjadi pelajaran berharga bagi hidup saya. Tapi dari semua pengalaman selama rentang waktu tujuh bulan ini, saya rasa ada satu yang paling menyentuh nilai kemanusiaan dan sisi keislaman saya. Kejadian yang membenturkan antara sisi kemanusiaan dan keislaman saya sebagai seorang muslimah.

Alloh SWT telah mendesign laki-laki dan perempuan begitu sempurna, termasuk hak dan kewajibannya. Seorang laki-laki dengan sifak kelaki-lakiannya telah diberikan hak dalam hal kekuasaan dan kepemimpinan. Begitu pula seorang perempuan dengan segala karakteristik keperempuannya telah pula diberi hak sebagai seorang ibu dan pengatur rumah tangga (Ummu wa rabbah al-bayt). Maka, tidak bisa seorang laki-laki mengambil aktivitas seorang ibu begitu pun sebaliknya.

Apa itu aktivitas seorang perempuan yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang laki-laki? Syariah Islam telah mendatangkan seperangkat hukum yang berkaitan dengan kehamilan, kelahiran (wiladah), penyusuan (radha’ah), pengasuhan (hadhanah), ataupun berkaitan dengan masalah ‘iddah. Semua itu khusus untuk perempuan, tidak sedikitpun untuk laki-laki. Maka, hukum syara’ telah memberikan tanggung jawab penuh kepada perempuan untuk mengurus anak mulai dari hamil, kelahiran, penyusuan, dan pengasuhan. Jadi, aktivitas pokok seorang perempuan adalah menjadi seorang ibu dan pengatur rumah tangga, dan hal ini tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Akan tetapi dengan adanya aktivitas pokok tersebut tidak menjadikan perempuan terbatas pada aktivitas tersebut. Perempuan boleh melakukan jual beli, kontrak kerja (ijarah), dan perwakilan (wakalah). Makna dari pengkhususan tersebut adalah bahwa Alloh SWT telah menciptakan perempuan agar laki-laki cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan agar laki-laki (suami) memperoleh keturunan darinya. Alloh SWT berfirman dalam surat an-Nahl ayat 72, “Alloh menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu.” Dalam surat yang lain Allah SWT berfirman, “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya.” (TQS ar-Ruum[30]: 21). Tapi sekali lagi aktivitas khusus tersebut tidak membatasi seorang perempuan untuk beraktivitas di kehidupan umum. Hanya saja perempuan tidak boleh menduduki jabatan pemerintahan, tidak boleh menjadi kepala Negara, pembantunya, gubernur, bupati, atau jabatan apa saja yang menyangkut pemerintahan (kekuasaan). Rasulullah SAW bersabda, “ Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yag menyerahkan urusan mereka kepada seorang perempuan.”

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas pokok dan hukumnya wajib bagi seorang perempuan adalah menjadi seorang ibu dan pengatur rumah tangga. Aktivitas lainnya semisal bekerja adalah diperbolehkan artinya hukumnya adalah mubah.

Karena Allah SWT melengkapi manusia dengan akal. Dengan akal manusia diberi kebebasan untuk memilih apa yang menurutnya benar. Perempuan pun dalam hal ini diberi keleluasaan untuk memilih apa yang terbaik dalam hidupnya. Hanya saja karena kita adalah seorang muslim, dan seorang muslim itu segala perbuatannya harus selalu dilandaskan kepada al-Qur’an dan hadits, maka dalam hal memilih pun tidak boleh tidak harus berdasarkan keduanya. Kita sebagai seorang muslimah harus bisa membedakan aktivitas mana yang wajib, sunah, mubah, dan makruh berdasarkan syariah Islam. Atas pilihan-pilihan itu manusia akan dimintai pertanggungjawabannya.
Sebagai seorang manusia dan perempuan di zaman kapitalisme ini, kita-perempuan- dihadapakan pada realitas dunia yang menuntut seorang perempuan harus bekerja. Kapitalisme dengan segala turunannya telah membuat kecenderungan manusia berubah ke arah materi. Seorang perempuan dengan pekerjaan dan penghasilan cukup apalagi ditambah dengan kekuasaan akan menambah nilai tambah di tengah masyarakat dibandingkan perempuan yang hanya berkutat di rumah hanya akan dipandang sebelah mata. Perempuan yang bekerja dianggap berjasa terhadap keluarganya. Perempuan dituntut untuk hidup mandiri dengan bekerja. Banyak sekali alasan yang semuanya secara manusiawi sangat masuk akal. Misal jika terjadi sesuatu dengan suami, perempuan yang mandiri akan tetap kuat bertahan menyokong ekonomi keluarganya.

Hidup adalah pilihan dan setiap pilihan yang kita tentukan akan ada cost yang harus dibayar, begitulah hidup. Cost yang harus dibayar pun berbeda-beda harga dan tempat kembalinya. Orang bijak mengatakan pilihlah yang costnya paling minimal. Ingat jual beli di sisi Alloh SWT tidak sama dengan jual belinya manusia. Cost paling minimal akan menguntungkan di dunia tapi mungkin tidak menurut pandangan Alloh SWT begitupun sebaliknya.

Inilah yang terjadi, dan menuntut saya untuk kembali merenungi diri. Apakah saya adalah seorang pekerja yang kebetulan beragama Islam atau sebaliknya, saya adalah seorang muslim yang kebetulan bekerja? Fenomena perempuan bekerja pada zaman ini bukan sesuatu hal yang aneh. Dimana-mana perempuan bekerja dan sayangnya sudah tidak memperhatikan jenisnya lagi, apakah cocok dengan kodratnya sebagai perempuan atau tidak. Semua berlomba untuk mendapatkan pekerjaan. Dan dari sekian keumuman tersebut selalu ada anomaly, orang-orang yang melawan arus, yang dipandang sebelah mata, yang dikira tidak berpikir panjang. Banyak orang dengan susah payah bahkan harus membayar jutaan bahkan puluhan juta untuk diangkat menjadi pegawai ini malah ingin mengundurkan diri hanya karena alas an rumah tangga. Dipandang dengan kacamatan perasaan manusia dan ideology kapitalis, orang ini bodoh dan kurang berpikir panjang. Istilahnya hal yang sudah pasti di depan mata ia tinggalkan begitu saja, berarti cost yang ia ambil terlalu mahal untuk hidupnya. Dia akan kehilangan pendapatan yang lumayan untuk menyokong kelangsungan hidupnya juga gengsi di masyarakat sebagai wanita karir, hilang sudah. Tapi benarkah seperti itu?
Pertama saya juga sayang dengan keputusan itu. Saya terguncang juga dengan perasaan kemanusiaan dan ide kapitalis. Terlalu banyak orang yang berbicara, membuat saya tertegun. Saya berpikir, banyak hal bahkan terlalu banyak yang ia korbankan; pendidikannya, orang tua, masa depan anak, dan kemampuannya. Tapi ternyata semuanya berbicara tentang materi. Jika saya kembalikan semuanya kepada hukum islam, maka yang ia lakukan tidaklah begitu berarti. Menjadi seorang ibu dan mengurus rumah tangga adalah hal wajib baginya sementara bekerja adalah mubah. Hitung-hitungan di sisi Alloh SWT tidak sama dengan hitung-hitungannya manusia. Cost yang besar di sisi manusia insyaAlloh akan diganti pahala yang lebih besar di sisi Alloh SWT. Ingat suatu kewajiban sebagaimana halnya shalat, jika kita lakukan adalah pahala dan jika ditinggalkan adalah dosa.

Sampai disini saya kembali harus tanamkan dalam diri bahwa saya adalah MUSLIMAH yang kebetulan bekerja. Dengan begitu jika suatu saat saya dihadapkan pada pilihan kerja dan rumah tangga maka hal terbaiklah yang harus saya pilih. Apapun resikonya karena manusia hidup dalam ketidakpastian tapi yang penting kita sudah memilih yang menurut Alloh SWT paling baik.

Untuk saudaraku seiman; janji Alloh adalah benar…