Rabu, 27 Mei 2009
gie dan chairil
Saya mungkin sangat cengeng. Menonton Gie saya menangis keras, membacanya pun kembali menangis. Jika saya menangis karena penderitaan saudara di Palestin atau melihat betapa terpinggirkannya masyarakat Papua atas nama budaya, mungkin itu menjadi wajar. Tapi benarkah menangis karena membaca Gie, membaca "Yang Terampas dan Yang Putus", atau yang sejenisnya tidak wajar???
Saya seringkali menangis karena membayangkan betapa mereka sangat cerdas di bidangnya masing-masing, tapi saya amat sangat sedih karena tahu mereka tahu sedang terjadi suatu kesalahan dalam cara hidup tapi mereka tidak mendapatkan jalan terbaik. Kata Soe, "keadilan itu cuma ada di langit". Saking begitu muaknya dia dengan kehidupan yang menurutnya sangat tidak adil. Kalau tidak salah baca, dulu ia pernah menyaksikan bapak-bapak yang makan kulit jeruk padahal jaraknya hanya sekitar 100m dari istana, ironis memang: di istana bermegah-megahan mengatasnamakan rakyat tetapi ternyata rakyatnya sendiri tak mampu memenuhi hajat hiduppnya yang paling vital. Bisakah mereka dibilang pemimpin??? Begitu juga dengan Chairil Anwar (CH) katanya,"hidup hanya menunda kekalahan/tambah terasing dari cinta sekolah rendah/dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan/sebelum pada akhirnya kita menyerah".
Menurut saya apa yang dikatakan Gie, tidaklah harus begitu...
jangan marah! jangan marah...!!!
harusnya saya ingat ketika rasa merah ini sampai ke ubun-ubun. boro-boro dech! astagfirullah...
malam tadi adalah puncak, atau mungkin that's the real me???No!!! saya tidak mau menjadi seorang pemarah, bisanya cuma marah.
Tidak usah marahlah untuk hal sederhana yang bisa diselesaikan sederhana. Saya memang sudah kelewatan terhadap diri dan juga teman-teman bahkan adek-adek yang masih imut-imut, malu rasanya. Malu karena sudah segede ini masih juga mengikuti ego. Akh, si ego ini benar-benar harus saya buatkan juga brankas. Berharap cuma sesekali dan saat yang paling dibutuhkan dia muncul...
Bagaimana bisa mengurusi umat jika diri sendiri saja masih disibukan dengan ego diri?
harusnya saya ingat ketika rasa merah ini sampai ke ubun-ubun. boro-boro dech! astagfirullah...
malam tadi adalah puncak, atau mungkin that's the real me???No!!! saya tidak mau menjadi seorang pemarah, bisanya cuma marah.
Tidak usah marahlah untuk hal sederhana yang bisa diselesaikan sederhana. Saya memang sudah kelewatan terhadap diri dan juga teman-teman bahkan adek-adek yang masih imut-imut, malu rasanya. Malu karena sudah segede ini masih juga mengikuti ego. Akh, si ego ini benar-benar harus saya buatkan juga brankas. Berharap cuma sesekali dan saat yang paling dibutuhkan dia muncul...
Bagaimana bisa mengurusi umat jika diri sendiri saja masih disibukan dengan ego diri?
Langganan:
Postingan (Atom)