kemarin saya pergi ke konawe selatan. sebuah kabupaten di Provins Sulawesi Tenggara. Sebuah kabupaten yang insyaAllah akan menjadi tempat kerja yang pertama untuk teman Saya (Nia A). Kami berangkat sekitar jam 8.30 WITA. Di sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan alam yang nampak indah sekali. Hutan-hutan di kiri kanan jalan,yang entah pohon apa itu, rumah-rumah beratap daun rumbia dan seng juga dinding yang masih terbuat dari papan, juga dengan anak-anak sekolah yang kecil berlarian hilir mudik di dalam sekolahnya yang tepat menghadap jalan.Ah, benar-benar damai hidup...
Hawanya terasa segar beda sekali dengan Kendari yang panas. Sebagai anak yang terlahir dan tumbuh di lingkungan pegunungan yang dingin jalanan menuju Konsel terasa sangat nyaman dan Saya pun tak bisa menutupi kesenangan diri dengan terus tersenyum sepanjangn jalan yang berkelok-kelok."Ow! ini dia yang kucari: masyarakat yang sebenar-benarnya, inilah wajah Indonesia, anak-anaknya dalam balutan merah putih pebuh kejujuran dan kesenangan hidup yang sederhana dan penuh rasa syukur. Ini dia rakyat yang begitu gemerlap mata mereka melihat kemegahan ibukota. Ibukota adalah kemewahan saja bagi mereka seperti halnya dinding semen, atap genteng, dan lantai keramik. Tapi seperti sudah saya katakan, di sini tenang dan nyaman...
Saya temukan dua bangunan gereja pada jarak berdekatan. Saya tidak mengerti padahal warga di sekitar daerah tersebut tidak bisa dikatakan banyak malah saya lebih pede mengatakannya sedikit, jelas sekali terlihat jarang-jarang rumah merek. Keanehan terusik kembali melihat kondisi masjid yang astagfirullah jauh dari kesan bersih apalagi megah, terjadi kerusakan di sana-sini seperti tidak digunakan lagi. Saya belum lagi melihat proporsi agama di kabupaten ini mengingat kejanggalan-kejanggalan tersebut.
Perjalanan, baru mencapai seperempatnya, begitu kata Mas Adi yang memberi tumpangan. Istrinya (Mb Kiki) menimpali dengan banyaknya kabut yang menurutnya tidak biasanya. Ahai ini bagus sekali...lihatlah kawan seperti di negeri impian. Dalam pikiran saya selanjutnya adalah mendekati anak-anak kecil itu dan bermain, belajar bersama mereka, tidak apalah Saya ingin juga menjadi guru. Tahu tentang Toto Chan? Indah benar sekolahnya: di dalam gerbong kereta dan semua peraturan tidak monoton yang membuat saya mengantuk di kelas. Perjalanan mulai terasa sama, yang saya lihat rumah-rumah penduduk kebanyakan dari dinding papan dan atap rumbia berjejer di kiri kanan jalan, saya pun tertidur sebentar. Tidak lama hawa mulai berubah rasanya agak panas dan...panas!AC dalam mobil mulai dinyalakan dan parahnya Saya langsung batuk2.
JreNGGGG!!!pemandangan berubah...tanah cadas, tetumbuhan ada tapi tidak membikin segar, gedung-gedung perkantoran berjejer menggantikan atap rumbia dan dinding papan penduduk. Gedung DPRD dan tempat bupati mendominasi kebesaran bangunan. BPS sendiri yang kami tuju berada paling ujung dari deretan bangunan perkantoran milik pemerintah semua. Jalanan yang baru diaspal terasa licin di mobil.Biar saya ingat di sana ada RSUD, sebuah rumah sakit tanpa pasien...benar-benar kampung koboi. Hanya beberapa saja yang berseliweran kendaraan motor dan mobil, tak kulihat orang berjalan-jalan kaki. Kami pun sampai di kantor BPS yang baru juga dibangun seperti bangunan lainnya, ujung jalan beraspal ini baru sampai BPS kesananya blasss...!jalan cadas gersang...Apalagi yang dapat saya gambarkan? Saya bingung karena turun dari mobil, panas langsung menyengat dan sepi suara angin terdengar sendu. Daerah ini harusnya tetap alami saya kira...tidak perlu bangunan-bangunan perkantoran ini.
Pemekaran daerah...inilah salah satu bentuk jadinya: Kabupaten Konawe Selatan. Siapa yang menginginkan? Saya kira tidak selamanya pemekaran daerah diingini oleh masyarakatnya. Seperti di Konsel rakyat saja jarang ditemukan maka tentu rakyat tidak terlalu kuat menginginkan pemekaran. Toh rakyat pun tidak merasakan langsung dari pemekaran ini. Akhirnya pandangan tertuju pada mereka yang duduk di tampuk pemerintahan, mungkin ini hanya su'udzon tapi hal ini patutlah menjadi bahan berkaca di kemudian hari: masak iya kabupaten hanya berupa bangunan? kalau mau dibandingkan lebih ramai kampung Saya: Cisoka tercinta...Intinya daerah ini tidaklah layak menjadi kabupaten, mungkin akan lebih bagus jika daerah ini tetap hutan yang bisa memperkuat paru-paru dunia, toh di tanah Sulawesi ini belum kekurangan tanah seperti halnya Jawa.
Saya dan Nia mencoba jalan-jalan keluar karena bete juga nunggu di dalam ruangan tanpa kerjaan. Jalan-jalan? Kami hanya sampai bangunan samping BPS karena udara yang panas, mata tidak bisa saya buka lebar, tanah yang begitu luas ini tampak sempit di pandangan. Angin yang biasanya segar di sini panas. Kami berfoto di bawah bendera yang aduhai kasian sekali sendirian mematung di tengah lapangan yang sunyi berumnput lebat dan dilatari hutan-hutan, ingatan saya kembali pada masa kolonial, ingat saya dengan tetralogi buru Pramoedya Ananta Toer latar akhir abad 19, yah, lapangannya masih sangat berumput saya kira dan suram...
Selain itu tambah tidak senangnya saya dengan kabupaten koboi ini adalah fasilitasnya: air dan listrik jarang-jarang sekali. Mana pada hari ke sana Saya mulas, penderitaan sekali jadinya...untung masih ada sisa air di kamar mandi laki-laki. Entahlah atas dasar apa mereka membentuk Kabupaten yang lebih mirip kampung koboi yang super sepi...janganlah dibandingkan dengan kabupaten di Jawa dengan desa saya pun masih kalah...tapi kita tunggu saja Konawe Selatan sepuluh atau dua puluh tahun ayang akan datang...
seriussss semangat y plennn kerj di sana...
BalasHapus